Natal jelas bukan perayaan kaum Muslim, dan kaum
Muslim harusnya tidak berkepntingan dengan itu. Namun jelas ada hubungannya
dengan kaum Muslim mengingat sebagian besar daripada kita juga berhubungan
dengan sesame kita yang merayakannya. Karena itu menjadi penting kiranya kita
membahas bagaimana pandangan Islam tentang Natal dan seputarnya serta toleransi
kita di dalamnya.
Sebagaimana yang kita ketahui, 25 Desember bukanlah
hari kelahiran Yesus Sang Mesias (Isa Al-Masih). Walaupun gereja Katolik
menganggapnya begitu.
Encyclopedia Britannica (1946), menjelaskan, “Natal
bukanlag upacara-upacara awal gereja. Yesus Kristus atau para muridnya tidak
pernah menyelenggarakannya, dan Bible (Alkitab) juga tidak pernah diambil oleh
gereja dari kepercayaan kafir penyembah berhala.”. Secara sains, dibuktikan
tanggal 25 Desember adalah pertama kalinya matahari bergerak kea rah utara dan
memberikan kehangatan setelah matahari berada di titik terendah di selatan pada
22-24 Desember (Winter Solstice) yang menyebabkan bumi berada di titik
terdingin.
Karena itulah orang Yunani pada masa awal merayakan
lahirnya Dewa Mithra pada 25 Desember, dan orang Latin merayakan hari yang sama
sebagai kelahiran kembali sol Invictus (Dewa Matahari Pula). Singkatnya bila
kelahiran Yesus disangka 25 Desember, maka itu adalah kesalahan yang nyata.
Namun, bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah
bahwa umat Kristen telah menjadikan tanggal 25 bukan hanya sebagai peringatan,
tapi perayaan kelahiran ‘Tuhan Tesus’ bagi mereka. Sehingga permasalahannya
berubah menjadi peraqidah. Karena itulah dalam Islam, kita pun dilarang
ikut-ikutan merayakan Natal, karena itu adalah perayaan aqidah. Termasuk ikut
memberikan ‘selamat natal’ atau sekedar ucapan ‘selamat’ saha. Karena sama saja
kita mengakui bahwa Natal adalah hari lahir ‘Tuhan Yesus’ bagi mereka.
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan :
“Bahwasannya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada
Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka katakana itu, pasti orang-orang
yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih (QS Al-Maidah [5] :
73)
Seringkali kita beralasan, “Tapi kan enggak enak,
dia bos saya/ teman saya/ dll, masak saya nggak ngucapin, kalo dalam hari
mengingkari kan gak papa, yang penting niatnya! Toleransi dong!”
Perlu kita sampaikan, niat apapun yang kita punya,
apabila kita melakukan hal itu, maka sama saja hukumnya. Dan toleransi bukanlah
mengikuti perayaan aqidah umat lain. Oleh karena itu harusnya kita lebih takut
kepada Allah disbanding kepada manusia.
Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia,
(tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan
harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS Al-Maidah
[5] : 44)
Lalu bagaimana toleransi Islam terhadap agama lain?
Toleransi kita hanya membiarkan mereka melakukan apa yang mereka yakini tanpa
kita ganggu. Itulah toleransi kita.
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku (QS
Al-Kafirun [109] : 6)
Toleransi bukannya ikut-ikutan dengan kebablasan
dan justru terjebak dalam kekufuran. Sebagai Muslim harusnya kita menyampaikan
bahwa perayaan semacam ini adalah salah. Dan kalupun toleransi, bukan berarti
mengorbankan aqidah kita, mari kita ingat pesan Rasulullah.
“Sungguh kamu akan mengikuti (dan meniru) tradisi
umat-umat sebelum kamu bagaikan buku anak panah yang serupa dengan bulu anak
panah lainnya, sampai kalaupun mereka masung liang biawak niscaya kamu akan
masuk ke dalamnya pula”. Sebagian sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, orang-oran
Yahudi dan Nasrani-kah?” Beliau menjawab : “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?”
(H.R Bukhari dan Muslim).
Alhasil sekali lagi kita mengingatkan bahwa haram
hukumnya di dalam Islam mengikuti perayaan Natal, juga termasuk mengucapkan
‘Selamat Natal/Selamat’ ataupun yang semisalnya. Mudah-mudahan Allah menunjuki
kita dan mereka.
0 komentar:
Posting Komentar