Mereka adalah sosok pejuang pencari kemuliaan.
Harapan yang lahir dari kejernihan iman, menjadikan mereka sebagai
ksatria-ksatria tangguh dalam kancah jihad fi sabilillah. Terik panas gurun
pasir, lembah gersang lagi tandus, pegunungan yang terjal, serta ancaman maut
menghadang tidaklah menyurutkan langkah tegap mereka. Tentunya amalan yang
selaras dengan ajaran agama, bukan tindakan terror khawarij yang membabi buta.
Keinginan mereka tak lebih dari dua hal, hidup mulia dengan tegaknya Islam
dimuka bumi atau gugur meraih syahid. Kemulaiaa, keberanian, serta ketangguhan
yang mereka miliki menjadikan mereka layak menyandang gelar “Singa-Singa Padang
Pasir”.
Sekilas Tentang Perang
Nahand
Perang ini merupakan peperangan berskala besar yang
berlangsung pada tahun 21 H. Berbagai kisah heroik dan menakjubkan mewarnai
jalannya pertempuran. Sebuah gambaran jihad fi sabilillah di masa khalifah Umar
bin Al-Khattab radhiyallahu’anhu. Peristiwa bersejarag ini berlangsung di
Nawahand, sebuah kota besar yang terletak di Al-Gadhbah – Iran pada masa
sekarang. Karena itulah peperangan ini dikenal dengan Perang Nahawand.
Latar Belakang
Bertahap tapi pasti pasukan Islam berhasil
menaklukkan negeri Syam (Romawi) hingga Baitul Maqdis. Penaklukan ini terus
berlanjut dengan dikuasainya negeri Mesir, kemudian Iraq hingga Istana Putih
(Kerajaan Persia) di Madain jatuh di tangan kaum muslimin.
Singa-singa Padang Pasir terus merangsek memasuki
wilayah territorial Persia. Bertubi-tubi kota demi kota berhasil dikuasai.
Fenomena tragis ini menyulut kemarahan Yazdigird, raja Persia kala itu. Diapun
melayangkan surat provokasi kepada para pimpinan wilayah di sekitar Nawahand,
memotivasi mereka untuk berangkat menyerbu wilayah kaum muslimin. Upaya ini
berhasil menghimpun sebuah pasukan besar berkekuatan 150.000 personil lengkap
dengan persenjataannya. Detasemen gabungan artileri-kavaleri ini dibawah
komando seorang panglima senior yang bernama Al-Fairuzan.
Merekapun bersepakat menyatukan kekuatan dan
memobilisasi pasukan untuk menyerang kota Basrah dan Kufah. Rencana penyerangan
pasukan Persia itusampai kepada Umar bin Al-Khattab radiyallahu’anhu di kota
Madinah. Segera Umar bin Al-Khattab radiyallahu’anhu memerintahkan kaum
muslimin untuk berkumpul di masjid. Beliau naik mimbar dan berkata :
“Sesungguhnya hari ini adalah penentu bagi hari esok. Aku akan memberikan
sebuah instruksi kepada kalian, maka dengarlah dan penuhilah! Jangan kalian
saling berselisih sehingga kekuatan kalian menjadi sirna! Aku berkeinginan
keras untuk maju bersama tentara-tentara di suatu tempat antara kota Basrah dan
Kufah. Lantas aku akan himbau kaum muslimin untuk berangkat sebagai satuan
tempur, hingga Allah member kemenangan kepada kita.”
Setelah mendengar gagasan-gagasan dari beberapa
pemuka kaum muslimin, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu’anhu memutuskan untuk
mendahului menyerbu wilayah Persia, dan mengangkat seorang dari pasukan yang
berada di Iraq sebagai panglima perang. Beliau berkata : “Demi Allah, aku akan
mengangkat seorang panglima perang yang akan menjadi ujung tombak di saat
bertemu musuh esok hari.” Mereka bertanya : “Siapakah di wahai Amirul
Mukminin?” Umar menjawab : “An-Nu’man bin Muqarrin”,”Dia memang pantas untuk
hal itu,” sahut mereka.
Persiapan Pasukan Islam
Rencana penyerangan pasukan Persia merupakan
ancaman besar bagi daerah kaum muslimin, terkhusus kota Basrah dan Kufah. Hal
ini membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat sebelum pasukan Persia dating
menyerbu. Umar radhiyallahu’anhu segera memerintahkan Hudzaifah bin Al-Yaman
radhiyallahu’anhu agar berangkat dari kufah bersama pasukannya. Demikian pula
instruksi diberikan kepada Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu agar berangkat
bersama pasukannya dair Basrah.
Merekapun bergerak maju dengan membawa pasukan
Islam dalam jumlah besar. Mereka benar-benar waspada atas segala kemungkinan
yang akan terjadi. Hingga akhirnya seluruh pasukan Islam berkumpul di tempat
yang telah disepakati, lengkapnya jumlah pasukan Islam menjadi 30.000 personil.
Di dalamnya terdapat banyak pembesar sahabat Nabi shallallahu’alaih wasallam
dan para pemimpin Arab. Bertindak sebagai panglima tertinggi seluruh pasukan
Islam adalah An-Nu’man bin Muqarrin.
Seagai langkah awal, An-Nu’man mengutus Thulaihah,
‘Amr bin Ma’dikarib, dan ‘Amr bin Abi Salamah sebagai satuan intelijen di depan
pasukan, untuk mengumpulkan informasi keadaan musuh. Thulaihah berhasil
menyusup ke dalam barisan pasukan Persia, sementara kedua rekannya kembali di
pertengahan jalan. Bahkan Thulaihah Al-Asadi berhasil membunuh beberapa
petinggi pasukan Persia, menawan salah satu pimpinan mereka, dan mendapatkan
data akurat tentang kekuatan musuh. Akhirnya, dapat diketahui bahwa tidak
dijumpai adanya mara bahaya pada rute menuju Nawahand.
Jalannya Peperangan
An-Nu’man bin Muqarrin bersama pasukan Islam bergerak
maju menuju Nawahand. Pasukan lini depan dipimpin oleh Nu’aim bin Muqarrin,
pasukan penyerang di bawah komando Al-Qa’qa’ bin ‘Amr, sayap kiri dan kanan
dipegang Hudzaifah bin Al-Yaman dan Suwaid bin Muqarrin. Adapun pertahanan
belakang diatur oleh Mujasyi’ bin Mas’ud.
Di saat kedua pasukan berhadapan, An-Nu’man berikut
pasukan Islam bertakbir tiga kali hingga mengguncang barisan musuh dan membuat
mereka sangat ketakutan, kemudian
An-Nu’man menginstruksikan agar pasukan Islam meletakkan perbekalan mereka dan
segera mendirikan tenda-tenda.
Disaat persiapan sudah matang, instruksi telah
diberikan kepada tiap pimpinan regu, peperanganpun tak terelakkan lagi. Pasukan
Islam serempak menyerbu barisan pasukan Persia.
Pada hari-hari itu begitu tampak bukti keimanan,
ketangguhan, dan keberanian pasukan Islam. Perbandingan jumlah pasukan yang tak
seimbang itu tidaklah menyurutkan langkah milisi militant Islam, hingga pasukan
Persia melarikan diri berlindung ke dalam benteng. Pengepungan segera dilakukan
dengan sangat ketat dari segala penjuru. Sementara pasukan Persia leluasa
keluar menyerang dan masuk berlindung ke benteng sekehendak mereka.
Majelis Musyawarah Militer
Taktala pengepungan berjalan beberapa hari tanpa
ada hasil yang diharapkan, para pimpinan pasukan Islam berunding bagaimana cara
menghadapi musuh selanjutnya, ‘Amr bin Abi Salamah mengusulkan agar melanjutkan
pengepungan. Sementara ‘Amr bin Ma’dikarib menyarankan untuk menyerang mereka.
Seluruh yang hadir menolak kedua usulan ini.
Setelah itu, Thulaihah layaknya ahli strategi perang menyampaikan pendapatnya,
agar mengutus sekelompok pasukan menyerang terlebih dahulu. Disaat pasukan
kecil ini mendapat serangan musuh, maka mereka seolah-olah berlari kalah menuju
pasukan inti. Disaat itu, seluruh pasukan menunjukkan kekalahan dan berlari
mundur ke belakang. Jika musuh telah yakin akan kekalahan pasukan Islam,
niscaya mereka bersemangat menyerang dan keluar dari benteng secara
keseluruhan. Saat itulah pasukan Islam berbalik menyerbu hingga Allah menetukan
akhir pertempuran tersebut. Maka seluruh yang hadir menyepakati strategi ini.
Pelaksanaan Hasil Musyawarah
Dengan perintah dari An-Nu’man, Al-Qa’qa’ bin ‘Amr
berikut pasukan penyerang maju mengepung benteng. Ketika pasukan Persia
menyerang, Al Qa’qa’ beserta pasukan berlari mundur dan terus mundur. Akhirnya
pasukan Persia terkecoh keluar dari benteng dan maju menyerang, hingga tak
tersisa di dalam benteng kecuali para penjaga pintu gerbang. Bersamaan dengan
itu, musuh telah mempersiapkan 30.000 tentara khusus yang diikat dengan rantai
besi dan menaruh besi-besi berduri dibelakang mereka (setiap 7 tentara diikat
menjadi satu agar tidak melarikan diri dari perang dan memasang sejumlah
manjanik (ketapel pelontar ukuran besar), menghujani pasukan Islam dengan
batu-batu, hingga banyak tentara Islam yang terluka.
Sebagian tentara Islam mendatangi An-Nu’man, mereka
berkata : “Tidakkah engkau melihat apa yang terjadi pada kami? Ijinkanlah bagi
pasukan Islam untuk maju menyerbu musuh. “An-Nu’man menjawab : “Pelan-pelan…!”
Ketika matahari tergelincir, pasukan Islam segera melaksanakan sholat dhuhur.
Setelahnya An-Nu’man menaiki kudanya, memeriksa pasukan seraya menasehati untuk
senantiasa bersabar dan gigih dalam berperang. Beliau memberikan instruksi, jika
terdengar takbir pertama, maka hendaknya seluruh prajurit menyiapkan diri. Jika
terdengar takbir kedua, maka hendaknya tidak ada satupun dari pasukan kecuali
telah siap dengan senjatanya. Dan apabila takbir ketiga dikumandangkan, maka
seluruh pasukan maju bergerak menyerbu. Beliau berkata : “Apabila aku terbunuh,
maka Hudzaifah sebagai penggantiku. Apabila dia terbunuh maka Fulan sebagai
penggantinya (hingga menyebutkan tujuh orang dan terakhirnya adalah
Al-Muhirah).”
Setelah itu, beliau memanjatkan doa di hadapan
pasukannya : “Ya Allah… muliakanlah agama-Mu dan kemenangan hamba-hamba-Mu.”
Tentara-tentara Islampun menangis mendengar doa sang panglima, mereka patuh dan
taat atas perintah yang telah diberikan. Lalu beliau kembali ke posisi semula.
Berkobarnya Api Peperangan
Siang itu, A-Nu’man dengan suara lantang bertakbir
sekali dan mengibarkan panji perang, maka pasukan mulai bersiap-siap. Takbir
kedua dikumandangkan dan pasukan semakin bersiap diri. Di saat takbir ketiga,
makadengan sigap seluruh prajurit serentak menyerbu membombardir pasukan
Persia, layaknya banjir besar yang tak terbendung. Pekikan takbir menggema pada
setiap prajurit Islam yang maju menyerbu. Kedua pasukan bertemu, tak pelak
pedang-pedang pun beradu, debu-debu beterbangan, lemparan tombak tak dapat
dihindari, dan begitu banyak jasad tentara Persia bergelimpangan, membuat
suasana semakin membara. Tiap-tiap tentara Islam bertempur dengan gigih
mempertaruhkan nyawa.
Sungguh, cahaya iman telah memasuki sanubari.
Masing-masing regu mempunyai andil melaksanakan tugasnya. Di sisi lain, musuh
begitu terkejut mendapat serangan balik dari pasukan pemukul rekasi cepat pasir
benar-benar terjadi. Sementara panji perang yang dipancangkan An-Nu’man berkibar-kibar
di atas kudanya, maju menyibak garis pertahanan pasukan Persia.
Permukaan bumi yang licin bersimbah darah membuat
banyak kuda tergelincir karenanya. Bahkan kuda An-Nu’man tergelincir jatuh
membuat dirinya terlempar. Ketika itulah, salah satu anak panah musuh menembus
lambung beliau hingga ia meninggal karenanya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala
meridhainya.
Selanjutnya panji perang diserahkan kepada
Hudzhaifah bin Al-Yaman radiyallahu’anhu. Perang terus berlanjut. Menjelang
malam pasukan Persia mengalami kekalahan telak dan lari tercerai-berai dikejar
pasukan Islam. Akhirnya, Al-Fairuzan pun berhasil dibunuh oleh Qa’qa’ bin ‘Amr
di tepi pegunungan Hamadan, Iran. Diperkirakan jumlah pasukan Persia yang
terbunuh kala it lebih dari 100.000 personil. Akhirnya, kaum muslimin kembali
meraih kemenangan sebagaimana dalam kancah peperangan lainnya. Sejarah yang
senantiasa berulang dari masa ke masa dengan para pelaku yang berbeda.
Kenyataan yang jelas terlihat oleh setiap mata, bukan hasil khayalan yang tak
tentu arahnya. Benarlah, generasi awal umat ini merupakan sekumpulan manusia
terbaik di muka bumi ini.
Inilah sepenggal mata rantai perjuangan kaum
muslimin. Kemenangan, kejayaan, dan kekhilafahan di muka bumi akan terwujud
dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala taktala mereka beriman dengan keimanan
yang hakiki. Kemurnian ibadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bersih
dari noda kesyirikan merupakan modal utama bagi sebuah kemenangan. Tak hanya
itu, keteguhan diatas ajaran Nabi shallallahu’alaihi wasallam merupakan
perjuangan yang sarat dengan pengorbanan. Wallahu a’lam.